GOLPUT HARAM?

Kontroversi di seputar usulan fatwa haramnya golput dalam Pemilu—yang pernah dilontarkan oleh Ketua MPR Hidayat Nurwahid beberapa waktu lalu—tampaknya direspon Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam Ijtimaa Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III yang diselenggarakan 23-26 Januari 2009 lalu di Padang Panjang Sumatera Barat, golput menjadi salah satu agenda pembahasan; selain sejumlah masalah seperti kasus penikahan dini, senam yoga, rokok, bank mata dan organ tubuh lainnya serta sejumlah UU.

Terkait dengan golput dalam Pemilu, Ijtima Ulama yang dihadiri oleh 700 ulama dan cendekiawan tersebut menghasilkan sebuah kesimpulan (baca: fatwa), bahwa golput hukumnya haram. “Golput haram bila masih ada calon yang amanah dan imarah, apapun partainya,” papar Humas MUI, Djalal (Kompas, 27/1/2009). Ini karena, menurut Sekretaris Umum MUI Pusat Ichwan Syam, “Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.” (Republika, 27/1/2009).

Namun, pandangan berbeda dikemukakan Dr. Sofjan S. Siregar. Ia menyatakan bahwa fatwa MUI yang mengharamkan golput adalah sebuah ‘blunder ijtihad’ dalam sejarah perfatwaan MUI. Justru mengharamkan golput itu hukumnya haram. “Sampai detik ini, saya gagal menemukan referensi dan rujukan serta dasar istinbath para ulama yang membahas masalah itu,” ujar Sofjan, doktor syariah lulusan Khartoum University, direktur ICCN, Ketua ICMI Orwil Eropa dan dosen Universitas Islam Eropa di Rotterdam. “Oleh sebab itu, saya menyerukan kepada pematwa dan peserta rapat MUI yang terlibat dalam ‘manipulasi politik fatwa golput’ untuk bertobat dan minta maaf kepada umat Islam Indonesia, karena terlanjur membodohi umat,” tandas Sofjan (Detik.com, 27/1/2009).

Pengamat politik Indobarometer M. Qodari bahkan menilai, dengan fatwa tersebut MUI telah melanggengkan bobroknya sistem politik di Indonesia. “Kalau mereka dilarang untuk golput, hal itu justru menjustifikasi sistem politik yang tidak baik. Fatwa harusnya menganjurkan pada kebaikan,” jelas Qodari (Detik.com, 26/1/2009).

Komentar tajam juga dilontarkan oleh pengamat politik dan ekonomi, Ichsanuddin Noorsy. Menurut Noorsy, MUI tidak konsisten dalam berpijak mengeluarkan fatwanya. Sebab, Pemilu yang dilakukan dengan basis individual atau demokrasi liberal merupakan pemikiran Barat. Karenanya, Noorsy menambahkan, alasan dan argumen rasional MUI lemah. “Fatwa MUI kali ini pun gagal merujuk al-Quran dan Hadis. Kalau fatwa ini mempertimbangkan kebaikan, berarti MUI mengabaikan kebenaran ajaran dan kecerdasan masyarakat,” tegasnya. (Detik.com, 27/01/2009) Lanjutkan membaca “GOLPUT HARAM?”