Ulama’ Dinilai Karena Sikapnya, Bukan Ilmunya

HTI-Press. Agenda pertemuan Dialog antar Agama, Budaya dan Peradaban yang diadakan di PBB atas inisiatif Raja Abdullah bin Abdul Aziz telah berakhir kemarin (17/11/2008). Berita paling menonjol yang dilansir media massa adalah perubahan konferensi ini menjadi seolah-olah sebagai pertemuan normalisasi (hubungan Israel-Palestina), dimana Presiden Israel, Simon Perez memuji Raja Abdullah bin Abdul Aziz, dengan mengatakan: “Yang Mulia, Raja Kerajaan Arab Saudi, saya telah mendengar dengan seksama isi surat Anda. Saya berharap suara Andalah yang akan memimpin semua bangsa di seluruh kawasan tersebut. Sebab, suara ini benar. Dan, memang ada kebutuhan ke arah sana. Itu juga merupakan janji.” Dalam pernyataannya kepada para wartawan, setelah dia memberikan sambutannya, Presiden Israel itu menyatakan: “Ini merupakan kali pertama, yang terjadi secara berurutan, Raja Saudi duduk dan mendengarkan sambutan pemimpin Israel.” Bush pun memberikan ucapan terimakasihnya kepada Abdullah bin Abdul Aziz atas inisiatifnya untuk mengadakan konferensi ini. Bush mengakui, bahwa jalan terbaik untuk menjaga kebebasan beragama adalah mewujudkan pemerintahan demokratis.

Dalam sambutannya, Abdullah bin Abdul Aziz menyatakan: “Hari ini kami tegaskan dengan satu suara, bahwa agama-agama yang dikehendaki oleh Allah untuk membahagiakan manusia tidak semestinya menjadi sebab kesengsaraan hidup mereka.” Abdullah II itu pun mengatakan, bahwa mustahil membicarakan rekonsialiasi antar agama, tanpa menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Dia pun menyerukan untuk: “Mengakhiri konflik yang terus menyemai benih perpecahan melalui upaya mewujudkan perdamaian yang dibangun berdasarkan nilai-nilai bersama kita yang mendalam, yang meliputi nilai keadilan, menghormati hukum internasional dan hak bangsa untuk hidup dengan terhormat.”

Inilah yang diinginkan oleh para penguasa hina dan aib dalam konferensi mereka ini. Mengumumkan berakhirnya perang agama, benturan peradaban, normalisasi hubungan, persamaan Islam dengan agama-agama yang menyimpang, menghormati hukum internasional dan menyelesaikan konflik Palestina-Israel dengan prinsip Barat. Maha Benar Allah yang telah berfirman:

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ

“Muhammad dan orang-orang yang bersamanya itu sungguh bersikap tegas kepada kaum Kafir, dan bersikap lemah lembut dengan sesama mereka.” (TQS. al-Fath [48]: 29)

Namun, di manakah gerangan para ulama’? Di manakah gerangan para pewaris Nabi itu? Para Nabi tidak mewariskan dirhan dan dinar, melainkan mewariskan ilmu syariah ini. Sesungguhnya pemboikotan sebagian ulama’ terhadap konferensi ini, yang intinya justru lebih merupakan pertemuan politik ketimbang dialog antara agama, sebenarnya tidaklah cukup. Sebab, apa bedanya para ulama’ yang memboikot konferensi tersebut dengan kebanyakan kaum Muslim yang juga memboikot konferensi dan tidak menghadirinya? Sesungguhnya para ulama’ agung kaum Muslim di masa lalu tidak populer dan dikenal hingga saat ini, karena kedalaman ilmu dan kefakihan mereka, sebab ulama’ dan fuqaha’ pada zaman mereka sangatlah banyak. Namun, para ulama’ agung kaum Muslim di masa lalu populer dan dikenal hingga saat ini karena sikap mereka, serta perlawanan mereka terhadap berbagai problematika utama yang mereka hadapai pada zamannya.

Adalah Imam Ahmad bin Hanbal, yang populer dengan perlawanannya terhadap masalah khalq al-Qur’an. ‘Abdullah bin ‘Abbas dengan perlawananya terhadap Khawarij. Sa’id bin Jubair dengan perlawanannya terhadap al-Hajjaj. ‘Izzuddin bin Salam dengan Mamalik. Ibn Taimiyah dengan jihadnya melawan Tatar. Sufyan ats-Tsauri dengan sikapnya, yang tidak mau menyentuh surat Harun ar-Rasyid dengna tangannya, karena surat itu datang dari orang yang zalim. Bahkan, beliau memerintahkan salah seorang pengikutnya untuk membalik surat tersebut, dan menulis di belakangnya: “Kepada Harun —bukan Amirul Mukmin— lalu menyatakan, yang intinya: Anda telah memutuskan diri Anda sendiri untuk mengelola harta kekayaan kaum Muslim dengan hawa nafsu Anda. Anda jelas zalim. Saya kelak akan menjadi saksi Anda.” Abu Hanifah dengan sikapnya yang tidak rela dengan kebijakan al-Manshur secara umum. Suatu hari, ibunda beliau pernah berkata kepada beliau, ketika beliau mendekam di dalam penjara: “Wahai Nukman, sesungguhnya ilmu bisa memberimu manfaat, bukan siksaan dan penjara. Sungguh, kamu pun bisa melepaskan diri darinya.” Beliau pun menjawab: “Ibu, andai saja putramu menginginkan dunia, tentu sudah kugapai. Tetapi, putramu ingin Allah mengetahui bahwa putramu menjaga ilmu-Nya, meskipun harus mengorbankan diri dalam kebinasaan.”

Inilah sikap ulama’ agung kaum Muslim di masa lalu. Lalu, di manakah ulama’ agung kaum Muslim saat ini? Di manakah kalian, ketika menghadapi problematika utama umat? Di manakah posisi kalian dalam konteks pernyataan Imam al-Ghazali: “Rusaknya rakyat, karena rusaknya para penguasanya. Rusaknya para penguasa, karena rusaknya para ulama’.” Di manakah posisi kalian dalam konteks firman Allah:

لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ

“Sungguh, kalian harus menyampaikannya kepada umat manusia, dan janganlah kalian menyembunyikannya.” (TQS. Ali ‘Imran [03]: 187)

Mengapa kalian rela menjadi kendaraan, pendukung dan alat pembersih kotoran para penguasa pengkhianat itu? Kalau begitu, apa gunanya keberadaan kalian? Apa gunanya ilmu kalian, jika kalian tidak menolong kebenaran, mencegah kebatilan, memerintahkan kemakrufan, dan mencegah kemunkaran, serta mengoreksi para penguasa itu?

Wahai para pembaca, wahai para pemuka negeri, bagaimana mungkin para pemuka itu melakukan perbaikan, kalau pemukanya sendiri sudah rusak? Buktikanlah kebaikan kalian kepada Allah, maka kalian akan ditetapkan sebagai orang-orang yang mendapatkan ridha dari-Nya, di dunia maupun akhirat. Umat Islam pun akan mencintai kalian, dan mengenang sikap kepahlawanan kalian hingga hari di mana Allah mewariskan bumi ini dengan seluruh isinya..

Posting Dari http://hizbut-tahrir.or.id/2008/11/21/ulama-dinilai-karena-sikapnya-bukan-ilmunya/

Tinggalkan komentar